RSS

Diskusi Penanganan Gizi Buruk

04 Mar

IBGB2015-kecilPemaparan berikut diambilkan dari Diskusi Tatalaksana Balita Gizi Buruk Bagi Petugas Puskemas Propinsi Jawa Timur di Sidoarjo 13 – 14 November 2008.

Perlu dimaklumi bahwa fakta di lapangan menyatakan anak yang kemudian menderita gizi buruk sebenarnya kebanyakan dilahirkan dengan berat badan normal. Tidak sama dengan perkiraan sebagian besar orang bahwa balita gizi buruk kebanyakan dilahirkan dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

Seorang anak yang gizi buruk juga pada umumnya bukan pengunjung tetap posyandu. Ketidakhadiran di Posyandu karena adanya Hambatan Sosial. Misalnya perasaan risih ke posyandu, kedua orangtua bekerja dan beberapa masalah serupa itu.

Di sebagian besar masalah gizi buruk, penderita hanya akan “muncul” di pelayanan kesehatan pada saat menderita ISPA (batuk pilek) atau Diare. Dan untuk menemukan balita yang tidak dibawa ke Posyandu sangat memerlukan kunjungan rumah.

Langkah Menurunkan Kejadian Gizi Buruk

Sebagaimana dalam penanggulangan berbagai masalah-masalah kesehatan maka langkah-langkah yang dilakukan dalam menurunkan kejadian gizi buruk juga terdiri dari :

  • Mencegah kejadian kasus gizi buruk
  • Menemukan semua kasus gizi buruk
  • Memulihkan semua kasus gizi buruk

Mencegah Kejadian Kasus Gizi Buruk

indonesia_health_gathering Selama ini pemantauan pertumbuhan terhadap balita dilakukan di posyandu. Karenanya diperlukan upaya untuk meningkatkan kunjungan ke posyandu. Diperlukan berbagai cara untuk menghidupkan kembali kegiatan posyandu. Terutama daerah perkotaan, sehingga masyarakat kelas menengah atas mau berkunjung ke posyandu (modern).

KMS (Kartu Menuju Sehat) adalah alat pantau pertumbuhan yang sudah cukup baik, dari sini  diperlukan kesamaan pemahaman pola tumbuh balita. Sebagaimana diketahui, dengan menggunakan KMS, kita bisa membedakan 5 pola tumbuh yaitu N1 dan N2 yang diharapkan, T1, T2 dan T3 yang berupa gangguan. Kelak saya akan cerita tentang ini, sementara kita bicarakan alatnya dulu. Kemudian setelah mengenali T, bisa diberikan tindak lanjut terhadap penyimpangan dini pertumbuhan (T) dengan pengobatan dan pemberian makanan dan minuman sehat.

Menemukan Semua Kasus Gizi Buruk

Diperlukan usaha bersama antara pemda dan masyarakat (itu kita, lho!) untuk menemukan semua kasus gizi buruk. Yang terpenting adalah dengan menggunakan kriteria yang sama apa yang disebut gizi buruk. Dan sarana yang digunakan adalah semua yang bisa digunakan (semua perkumpulan, pengajian, arisan, pelayanan kesehatan, posyandu & kunjungan rumah). Inilah yang sedang kita lakukan sekarang melakukan penyamaan kriteria tentang apa itu gizi buruk.

Memulihkan Semua Kasus Gizi Buruk

Disini peran Pelayanan Kesehatan (RS, Puskesmas) jadi lebih nyata. Di beberapa daerah yang sudah mencoba petunjuk teknis yang diterbitkan Depkes tahun 2007 lalu biasanya terdapat yang dinamakan : TFC (Therapeutic Feeding Center) dan CTC (Community-based Therapeutic Center). TFC bertugas menangani secara medis-klinis menangani kasus gizi buruk dengan 10 langkah penanganan Kasus Gizi Buruk di Unit Pelayanan Kesehatan. Sedangkan di CTC dilakukan penyembuhan kasus Gizi Kurang, biasanya setelah pulang dari TFC.

Di CTC inilah yang diperlukan pendekatan berbagai unsur masyarakat untuk bersama menanggulangi secara tuntas kasus gizi buruk ini. Beberapa yang menjadi kegiatan di CTC antara lain adalah :

  • Pemberian makanan tambahan untuk kasus gizi kurang
  • Penyuluhan membuat makanan lokal yang padat gizi
  • Pemberian suplemen seperti vitamin A, Fe dll
  • Dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bisa digunakan untuk sharing informasi bagaimana memberikan penanganan yang terbaik, baik nutrisi maupun stimulasi tumbuh kembang anak.

Untitled

Mengapa terjadi gangguan pertumbuhan balita ?

Pada usia kurang dari 6 bulan sebagian besar bayi (> 80% ) masih disusui ibu. Dengan menetek, anak mendapatkan gizi yang seimbang dan zat kebal dari ASI karena itu anak menjadi jarang sakit, pertumbuhan anak masih baik.

Pada usia 6 – 12 bulan sebagian bayi sudah mulai disapih, ibu bekerja sudah mulai masuk kantor, perlindungan zat kebal dari ASI mulai berkurang. Sementara itu pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) memenuhi syarat-syarat 3J-1H (Jenis, Jumlah, Jadwal dan Higienis). Sehingga anak akhirnya jadi lebih mudah jatuh sakit. Pertumbuhan mulai terganggu.

Seterusnya diatas usia 12 bulan anak sudah tidak diberikan ASI sehingga perlindungan zat kebal dari ASI sudah tidak ada, apalagi bila dibarengi dengan MP-ASI tidak memenuhi syarat 3J-1H. Dan anak sekarang lebih mudah terpapar dengan lingkungan sekitar, bila lingkungannya kurang sehat maka anak akan lebih sering sakit dan pertumbuhan anak akan lebih jauh terganggu.

GIZI BURUK

Kriteria yang dinamakan Gizi Buruk bila ditemukan anak sangat kurus yang secara antropometri (pengukuran BB dan TB anak) nilai z-Scorenya berada pada –3 SD (WHO 1998). Susah ya .. biasanya memang ini tugas yang kami lakukan di Puskesmas. Namun demikian saya sudah mencoba menyusun sebuah perhitungan dengan menggunakan Ms Excel yang bisa digunakan untuk menghitung angka tersebut dengan memasukkan Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan dan  Tinggi Badan. [Silahkan Ikuti Link].

Selanjutnya nanti kita akan juga bicarakan Gizi Buruk dengan sedikit lebih teknis medis. Semoga bisa menambah pengetahuan kita semua.

Bagaimana di lingkungan anda ?

post ini dibuat dengan windows live writer ® yg dapat anda temukan di blog pom | hkn | idi | pkm

Related Posts

 
31 Comments

Posted by on 04/03/2009 in Gizi Buruk, Kesehatan

 

Tags:

31 responses to “Diskusi Penanganan Gizi Buruk

  1. Andi Sugiarto

    04/03/2009 at 05:57

    Ini sulit karena terkait dengan kemiskinan dan ketidak tahuan, juga tidak sadarnya masyarakat akan pentingnya gizi. Kita memang punya problem dualisme gizi ya dok. Ada yang over, ada yang under nutrition.

    Harus banyak2 ngomong dan ‘bawel’ ya dok..

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 05:59

      Iya Dokter Andi .. karena itu ini harus dimulai .. moga-moga bawel saya bisa dimaklumi .. saya betul-betul berharap kita tidak punya permasalahan gizi buruk lagi di Indonesia ini. Terimakasih.

       
  2. Riswan E Tarigan

    04/03/2009 at 06:46

    Opini saya, gizi buruk pada balita hanyalah sebuah ‘akibat’. Karena ibu yang kekurangan asupan ‘gizi’, akan berimbas ke bayinya. Karena ketidakmampuan dan ketidaktahuan orangtua, akan berakibat pada anak-anaknya.

    Jadi hal utama yang perlu ditanggulangi adalah berikan pemahaman kepada orangtua tentang pentingnya kecukupan gizi bagi bayinya. Namun hal itu harus diselaraskan dengan pengetahuan bagaimana meningkatkan pendapatan. Baik dengan peningkatan pendidikan formal maupun non formal, agar orangtua memiliki opsi bagaimana menambah penghasilan keluarga sekaligus meningkatkan gizi keluarga.

    Karena sebagian besar orangtua, bukan ketidaktahuan yang mengakibatkan gizi buruk pada bayinya, tetapi hanya karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhinya.

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 07:25

      Menarik .. karena memang masalahnya kompleks maka sudut pandangnya pun bisa beraneka ragam .. Saya juga punya postingan disini tentang gizi buruk dan kemiskinan ..
      Terima kasih ikut berkomentar Pak Riswan. Kalo bisa keahlian memotivasinya bisa disalurkan untuk memotivasi ibu-ibu agar mau ke Posyandu .. hehehe .. mari kita hilangkan gizi buruk dari Indonesia.

       
  3. Dian Handayani

    04/03/2009 at 08:11

    Saya setuju dengan Pak Riswan. Gizi buruk memang terutama disebabkan oleh kemampuan ekonomi keluarga.
    Saya tidak begitu tahu mengenai gizi, tapi mungkin masalah gizi ini bisa disiasati dengan menambah pengetahuan orangtua tentang kandungan gizi pada makanan melalui berbagai penyuluhan di kegiatan sosial dan pamflet pada puskesmas, mading kelurahan,dll, sehingga para ibu dapat mengetahui jenis makanan apa yang bergizi dan menyesuaikan dengan kemampuan keuangannya yang ada.

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 08:26

      Ya memang kemiskinan juga merupakan faktor yang menyebabkan keluarga tidak mampu memberikan yang terbaik untuk keluarga. Namun demikian di lapangan kita bisa menemukan juga keluarga miskin yang balitanya gizi baik, ini disebut sebagai Positive Deviance (penyimpangan yang positif) dan ternyata masalah kemiskinan juga bisa diatasinya dengan bahan lokal yang bergizi.
      Justru disini seperti yang Mba Dian sebutkan ketidaktahuan akan kandungan makanan bergizi yang sederhana, murah dan lokal ini yang seharusnya lebih dimasayarakatkan.

       
  4. Triyana

    04/03/2009 at 09:18

    permasalahannya yang paling utama adalah kurangnya kesadaran masyarakat…memang bisa dimaklumi sih..sapa juga yang ga malu punya anak BGM (bawah garis merah)….waktu itu saya pernah pernah melihat di posyandu ada para kader yang berteriak2 bilang BGM buat penyuluhan…ya kabur lah sang ibu dan tidak pernah kembali lagi…

    satu hal yang kadang saya sayangkan kurangnya keaktifan para kader yang sudah dibimbing langsung oleh puskesmas, memang ga semuanya begitu, tapi contoh ilustrasi tadi bisa dibayangkan dong, yang harusnya sang ibu bisa mendapatkan bantuan pengetahuan dan bimbingan pada kenyataannya…malu yang didapat…

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 09:41

      Ya betul, bagi yang sudah memiliki Balita BGM biasanya malah malu .. kader juga kadang2 ada yang secara sembrono .. jangankan kader di beberapa kecamatan saya pernah lihat Bidan/Perawat yang membina aja malu melaporkan Gizi Buruknya ..ini hambatan data.

       
  5. ridhowati Saputri

    04/03/2009 at 09:22

    menurut opini saya, masalah gizi buruk ini bukan hanya diselesaikan dari sudut pandang kesehata saja tetapi juga sosial. bagaimana masyarakat itu menganggap penting kesehatan keluarga ?

    beberapa faktor yang mempengaruhi gizi buruk bukan hanya kemiskinan, tetapi juga tingkat pengetahuan ibu tentang gizi. tingkat pengetahuan ibu sangat penting, karena ada kebiasaan dalam keluarga yang bisa mempengaruhi kesehatan anak. Seperti pemberian makanan tambahan pada bayi dibawah usia 6 bulan.

    kemiskinan sering dianggap sebagai faktoe utama gizi buruk. namun masih ada variabel lain yang berpengaruh. seperti uang sudah saya sebutkan diatas. faktor kebiasaan dalam keluarga, seorang ayah biasanya menggunakan sebagian uangnya untuk membeli rokok. padahal uang itu bisa untuk membeli telur dan dapat memperbaiki gizi anak.

    mungkin ini hanya sebagian dari opini saya ? sudut pandang sosial wajib diperhitungkan dalam penanganan kasus seperti ini. Karena ini berkaitan dengan masyarakat luas.

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 10:01

      Betul sekali Mba Ridho ..
      Bahkan harusnya pemerintah melalui multi sektor bisa mulai komprehensif untuk melakukan penanganan serius, sekarang yang ingin saya gagas adalah bagaimana supaya masyarakat terutama dunia internet ini juga bisa memberikan kontribusi – ngga usah yg ruwet-ruwet semisal memperhatikan kurang gizi di lingkungannya misalnya – terhadap penanggulangan gizi buruk ini ..

       
  6. smartkoko

    04/03/2009 at 09:28

    gizi buruk dapat dicegah dengan memperbaiki status gizi ibu dari bayi yang bersangkutan.

    saya saat ini tugas di daerah, banyak ibu-ibu yang tak mampu memberi ASI kepada bayi mereka, karena ibunya sendiri ternyata kurang gizi.

     
  7. anonimus daftus (pemberitaan saya mungkin agak sensitif ?)

    04/03/2009 at 10:04

    salam ts ..

    sebagai junior mau turut memberi masukan.
    saya pra ptt dan baru mau daftar periode april ini, tp sudah pernah magang di salah satu Puskesmas di Sukabumi Selatan selama 3 bulan, dan disana juga lumayan banyak kasus gizi buruk.

    menurut saya pribadi, :

    1. nomor satu adalah *pendidikan* masyarakat.

    bagaimana bisa seorang ibu, atau sepasang orangtua, bisa sadar gizi, sementara, di daerah tempat saya magang dulu, keadaan di lapangan adalah:
    – sekolah reyot-reyot
    – guru satu SD paling 4-5 org, ada yg cuma 2 malah
    – mata pelajarannya, senin-sabtu: BI, PPKN, Matematika -DOANG !!-
    meskipun kita berusaha dengan penyuluhan, saya pribadi cukup yakin tingkat penyerapan masyarakatnya rendah .. 😦

    2. *ekonomi*.

    daerah tempat saya magang sebetulnya, kata sesepuh disana, dulu subur. tapi karena krismon, masyarakat banyak ambil jalan pintas, tebang2 kayu sampai habis. liciknya lagi, Perhutanan kasih ijin di bawah tangan. jadi .. habislah sumber pendapatan utama rakyat. Yang saya tahu masih tersisa disana, ada satu perkebunan besar yang dikelola oleh sekelompok purnawirawan TNI/AD. satu-satunya yang (memang) serba jauh-lebih-baik dibandingkan daerah sekitar, baik pola pikir penduduknya, tingkat pendidikan, dan taraf ekonomi secara umum. dan dampaknya langsung –> kesehatan juga nomor satu.

    lingkaran setan ya ? 3. *penegakan hukum* juga ternyata jadi masalah.

    4. *birokrasi edan*

    bagaimana bisa maju ? putra-putra daerah yang potensial, sudah PTT atau jadi sukwan bertahun-tahun *di daerah sendiri* tidak di-PNS-kan. tapi putra pusat atawa kabupaten/etc/etc, di-PNS-kan, kerja setahun di daerah, terus minggat ke posisi yg lebih tinggi dikota. menyisakan rekan-rekannya sesama Nakes/Guru yang cuma bisa ngiler nunggu di-PNS-kan *di kampung sendiri*.. gak fair banget ..

    5. *partai ???*

    dulu konon katanya, kalau pilih partai cap beringin, desa dikasih banyak bantuan jadi maju. kalau sekarang, kebalik. udah pilih partai, jadi caleg, terus nanti malah yang diminta kontribusi buat partai. jadilah dana masyarakat tersedot buat partai, bukan partai yang kasih kontribusi ke masyarakat. mending dulu atau sekarang? saya juga bingung..

     
    • anonimus daftus (pemberitaan saya mungkin agak sensitif ?)

      04/03/2009 at 10:05

      oya, maap lupa @_@

      terimakasih buat yang bersedia membaca blabbering saya .. 🙂

      semoga bermanfaat – atau setidaknya turut memperluas wawasan.

       
    • draguscn

      04/03/2009 at 10:32

      Wew .. lengkap yach .. emang sebenernya ya multifaktorial gitu .. Dr. Benny Sugianto (Pakar Gizi Masyarakat di Jawa Timur) malah mengharapkan kalo mau memperbaiki masalah Gizi Buruk Sektor yang terkait antara lain adalah : PENDIDIKAN, PENERANGAN, PERTANIAN, PETERNAKAN, PERKEBUNAN, PERDAGANGAN, INDUSTRI, TENAGA KERJA, KEHUTANAN, SOSIAL, BULOG, KOPERASI, PERKREDITAN, KEAMANAN, PENEGAK HUKUM dan tentu saja KESEHATAN.
      Itupun harus di”kapten”-i oleh Bupati/Walikota yang cerdas dan mendukung. Sulit kayaknya yach .. 😀

       
  8. Han

    04/03/2009 at 10:04

    saya ganti topiknya dari diskusi menjadi ada gak suatu hal yang bisa kita bantu untuk mengurangi gizi buruk ini
    karena saya lebih suka langsung membantu secara nyata daripada hanya beropini saja heheheh

    terima kasih

    salam sejahtera selalu buat rekan2

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 10:34

      Hmm .. ya itu ujungnya .. dan perlu didiskusikan juga kan bentuknya ? Ada usul bentuknya seperti apa ?

       
  9. manap

    04/03/2009 at 10:26

    Gizi buruk: Kemiskinan atau Ketidaktahuan?

    Aku coba lihat gizi buruk dari akibat kurangnya pengetahuan keluarga (mampu atau tidak mampu) tentang bagaimana mereka memenuhi kebutuhan gizi. Dari pengalaman jalan2 ke pelosok dan pusat2 kemiskinan kota, sebenarnya keluarga “miskin” dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk ibu dan anak (bapak ga usah dipikirkan..hehe). Bayangkan kalau kita bertanya kepada seorang ibu; tentang apa sebab anaknya kurang gizi? Jawaban yang sering didapat adalah ketidakmampuan membeli SUSU (FOMULA). Ini sangat ironis, karena bahasa di masayarakat miskin sekalipun seolah-olah kebutuhan gizi harus dipenuhi dengan membeli (terutama susu dan makanan suplemen lainnya). Padahal kalau kita amati ternyata sumberdaya yang ada di sekitar mereka sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Sayangnya kebiasaan menanam dan memelihara sudah hilang dari masyarakat. Bayangkan bahkan di masyarakat petani sekalipun ketika dilakukan analisa ternyata mereka lebih banyak membeli di pasar ketimbang mengambil dari hasil budidayanya sendiri.

    Gizi buruk pada anak sangat erat hubungannya dengan pengetahuan Ibu dan Bapaknya, terutama seorang ibu yang sangat dekat dengan anaknya, walaupun tanggung jawab itu tidak dapat diserahkan kepada ibu saja.

    Gencarnya iklan tentang susu formula saat ini sudah sangat luarbiasa dan KETERLALUAN. Seolah-olah anak yang tidak minum susu akan BODOH, TIDAK SEHAT, TIDAK NORMAL, KALAH PINTAR disbanding anak yang minum susu. Demikian juga Ibunya, seolah-olah janin yang dikandung lahir cacat, tidak normal, IQ rendah, dll. Suatu pencitraan industri yang menurut saya paling membodohkan. Ini jelas serangan dari korporasi yang hanya mementingkan penjualan produk dan keuntungan korporasi.

    UNICEF membuat gerakan MENYUSUI BAYI selama 2 tahun, yang terjadi adalah industri susu dari Amrik melobi pemerintahnya untuk membatalkan bantuan kepada UNICEF. Karena jika ibu menyusui anak, tentu saja dengan pemenuhan gizi yang baik (mengkonsumsi Ikan dari kolam sendiri, kacang2an dari kebun sendiri, telur ayam dari peliharaan sendiri) tentu gizi anak akan lebih tercukupi. Kemudian keluarga menganeka-ragamkan asupannya. Gerakkan menanam dan memelihara perlu dilakukan lagi. Dulu kita dengar tentang kebun keluarga, tanaman obat, dll. Penelitian sekarang yang dilakukan oleh teman2 gerakan pertanian berkelanjutan bahkan kita bisa menannam ditempat yang sempit dan terbatas. Padi saja sekarang bisa ditanam di polibag.

    Teman-teman dokter dan ahli gizi mungkin perlu mengkampanyekan model pangan atau asupan sehat, mudah, dan murah. Perbedaan pola makan jaman kita dengan generasi saat ini saja sangat jauh. Atau kita cari positive deviance di masyarakat yang miskin dimana ada keluarga sehat diantara banyaknya keluarga bergizi buruk. Bagaimana strategi mereka sehingga terjadi deviasi positif diantara mereka yang bergizi buruk.

    Menurut saya memang secara tidak sadar, terjadi pembodohan secara massif dan tidak disadari, sehingga masyarakat tidak mampu melihat potensi mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Kemudian pemecahan masalah ini akhirnya diserahkan dan dituntut kepada PEMERINTAH. Lha, kalau pemerintahnya sendiri sekarang kacau dan bingung khan harusnya inisiatif-inisiatif mengatasi gizi buruk ini harus kita arahkan kepada BAGAIMANA masyarakat dapat mengatasi sendiri masalah tersebut sementara bantuan luar ditujukan untuk mempercepat proses tersebut.

    Boyolali 03/04/09

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 10:33

      Sip! Mantap sekali ..

       
    • draguscn

      04/03/2009 at 10:53

      Yak udah selesai baca .. sekarang baru komen beneran .. Hehehe Iya, Nov, memang sekarang juga sudah banyak pemasaran kembali makanan lokal sebagai MP ASI, sebagai menu gizi seimbang dan bahkan ada program tersendiri. Sayangnya brand image yang sudah terbentuk sekarang itu juga penghalang besar bagi kelangsungan promosi kesehatan seperti ini.
      Kemaren contohnya ada bayi belum lagi 6 bulan sudah menderita demam Typhus, pada saat ditanyakan ke ibunya ternyata sudah tidak memberikan ASI lagi karena bekerja sejak usia 4 bulan kurang. Sebenarnya pilihan ASI perahan kan bisa, tapi pas diberikan pilihan itu ibunya melengos aja dan pasang muka tidak nyaman .. hihihi kayak gini inilah kondisi yang kita hadapi di masyarakat. Mungkin dengan lebih banyak konseling kelak ibu itu bisa 2 tahun memberikan anaknya ASI.
      Sebenernya temen2 yang tergabung dalam berbagai asosiasi ibu menyusui sudah banyak gerakan ke arah ini .. seandainya ini bisa berhasil sampai ke pedesaan, ini akan sangat membantu gerakan mengentaskan gizi buruk setidak2nya di fase baduta.
      Thanks Nov, komen menarik.

       
  10. fangky

    04/03/2009 at 14:29

    wah udah adea diatas semuanya, mau komentar apa ya?

    yang jelas ini harus ditindak lanjuti dengan serius. karena gizi buruk penyebabnya multifaktorial, dari ekonomi, pendidikan, sosial, budaya. Jadi tidak bisa cuman mengandalkan dari pihat kesehatan saja yang harus berusaha menangani gizi buruk ini. tapi semua elemen bangsa.

    dan yang pasti menurut saya perbaiki dulu tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi bangsa indonesia, dengan meningkatnya dua hal itu InsyaAllah gizi buruk bisa tereliminasi dengan berjalannya waktu. kalau hanya dari pihak medis saja yang berjuang, pastinya akan susah.

     
    • draguscn

      04/03/2009 at 16:11

      Ada Perumpamaan Menarik dari Dr. Benny (tahukan mas Fangky?) ..
      Penanganan Gizi Buruk ibarat main sepakbola maka Kapten itu adalah Bupati/Walikota. Dinas/kantor PENDIDIKAN, PENERANGAN, PERTANIAN, PETERNAKAN, PERKEBUNAN, PERDAGANGAN, INDUSTRI, TENAGA KERJA, KEHUTANAN, SOSIAL, BULOG, KOPERASI, PERKREDITAN, KEAMANAN, PENEGAK HUKUM itu semua adalah pemain mulai bek sampai striker. KESEHATAN kebagian tugas sebagai PENJAGA GAWANG .. hehehe dokter Benny ada-ada aja …

       
  11. Kesit Kanigoro

    04/03/2009 at 15:42

    Dari pengalaman saya,gizi buruk di indonesia kalau di cari penyebabnya tidak akan habis di bahas sampai kapanpun,karena merupakan lingkaran setan yang tidak akan putus jika kita tidak berusaha memutusnya,dari masalah ekonomi,kesehatan,sosial maupun gaya hidup masyarakat indonesia pada umumnya.bahkan masalah gizi buruk pun tidak lepas dari masalah politik juga.

    Prinsipnya adalah bagaimana memberdayakan semua stakeholder yang ada sampai ke tatanan masyarakat paling bawah,untuk mengerti tentang kesehatan anak dan hak anak,bila masyarakat sudah mengerti dua hal ini saya yakin semiskin apapun mereka atau sekaya apapun mereka,masalah gizi buruk akan terselesaikan karena mereka akan mengutamakan kepentingan anak anak mereka lebih dahulu maupun sang istri yang hamil akan sangat menjadi perhatian sang keluarga.
    saya merasakan itu tugas kita semua yang memahami masalah ini dan mengerti tentang arti pentingnya anak anak sebagai penerus bangsa.

    memberdayakan kader diposyandu hanyalah salah satu cara,menurut pengalaman saya banyak sekali cara cara yang bisa kita tempuh untuk perbaikan gizi buruk ini,kita tidak boleh hanya menyalahkan satu pihak atau melihat siapa yang salah,tapi kepedulian kita yang dibutuhkan disini untuk membantu seluruh program yang dijalankan,jangan cuma hanya diskusi.Ambil langkah sekecil apapun terhadap lingkungan kita sudah merupakan sumbangan besar bagi kemajuan perbaikan kasus ini.

     
    • draguscn

      05/03/2009 at 07:07

      Bisa dituangkan pak pengalamannya .. saya memang memerlukan banyak cara tersebut untuk dijadikan referensi yang bisa kita pakai sama-sama .. 🙂
      ya pak semoga kita tidak hanya saling menyalahkan .. yang penting segera langkah nyata.

       
  12. suryonegoro

    04/03/2009 at 23:27

    Mewujudkan pelayanan kesehatan publik yang efektif dan bermutu melalui birokrasi pemerintahan yang profesional, antisipatif, dan responsif.

     
    • draguscn

      05/03/2009 at 07:09

      Trimakasih dukungan slogannya pak !

       
  13. Putu

    05/03/2009 at 02:47

    Saya setuju dengan pendapat bahwa masalah gizi buruk harus ditangani secara lintas sektoral. Sudah saatnya kepala daerah bertindak sebagai komandan untuk masalah2 lintas sektor (bukan hanya gizi buruk tapi juga banyak masalah lain). Dan sudah saatnya indikator gizi buruk tidak lagi nangkring di Dinkes (atau UPT2nya), seolah2 kalau ada anak yg gizinya buruk artinya tenaga kesehatan kurang keras dalam bekerja. Sebaiknya indikator itu nangkringnya di raportnya KDH, karena menunjukkan bgmn kepemimpinan sang komandan dalam tim lintas sektor tsb. Naaah, kalo kemudian ditemukan kasus gizi buruk lantas tidak ditangani dengan baik, baru itu menunjukkan buruknya (salah satu) kinerja sektor kesehatan.

     
    • draguscn

      05/03/2009 at 07:15

      Wah mencerahkan ..

      Ya moga-moga ada yang bisa nego bu menkes atau pak presiden untuk membuat ini jadi rapornya Bapak Bupati/Walikota .. kira-kira kalo pak Bup saya baca ini saya bisa *dipentung* ngga ya ? 😀

       
  14. dokterearekcilik

    05/03/2009 at 05:26

    TFC (Therapeutic Feeding Center) dan CTC (Community-based Therapeutic Center)impianku. Sering setelah di rawat di RS saat pulang gak ada kontak antara RS dengan puskesmas. jadi belum ada kesinambungan dalam penanganan gizi buruk. Semoga di masa datang pemerintah lebih fokus dalam hal gizi buruk.

     
    • draguscn

      05/03/2009 at 07:25

      Mas Rizal .. sudah ditunggu-tunggu ..

      Saya bikin TFC di puskesmas saya, waktu itu cuma 4 bed. Kami bikin pojok bermain untuk mereka. Ibu dan anak disitu selama 7 hari (segitu kemampuan dana yg ada) selagi mereka bermain ibu diajak belajar menu lokal. Masak-masak bareng dengan petugas dapur. Nanti hasilnya dimakan bersama. Selang setahun sejak kami menangani banyak kasus waku itu. Ingin rasanya mengulangi lagi dengan data yang sekarang ada. Tapi pembiayaan terutama untuk makan ibu yang sudah tidak bisa lagi kami dapatkan. HHhhh ..

      CTC kami laksanakan tiap Senin 2 Minggu sekali .. seperti bikin posyandu di puskesmas, ibu-ibu dari semua desa yang punya anak gizi kurang (beberapa malah masih gizi buruk) datang, diberi PMT, disuluh, diberi obat cacing (1x), yg sakit diterapi. Nah yang ini sudah tidak diperbolehkan lagi diadakan. Dianggap sebagai PMT penyuluhan.

      Ada kemenangan ada hambatan bahkan rintangan. 🙂 saya berharap sekali ada cara-cara mencerahkan yg bisa kita laksanakan untuk masa kini dan nanti.

       
  15. +bheler+the jihad

    05/03/2009 at 21:28

    ehmm… tentang gizi buruk….

    terlihat dari realita kita ajah, bahwasannya konsumsi kita ajah ga baik. di mulai dari pendapatan kita yg sangat minim u/ membeli sesuatu yg bergizi, terlebih dari itu mka ap yg orang tua makan / ibu kita yg konsumsi akn mengalir ke tubuh si bayi/ anak tsb.

    makan pangan yg serba mahal tidak bisa kita jangkau hingga mengakibatkan yah itu gizi bruk.

    mungkin salah urus, telalu banyak kepentingan.

     
  16. anonima

    06/03/2009 at 11:27

    jadi…kalo bekerja di puskesmas daerah terpencil
    trus banyak kasus gizi buruk
    akses kemana2 susah
    apa dong kira2 solusinya??

     

Leave a reply to Dian Handayani Cancel reply